Dalam dunia olahraga, terutama cabang bulu tangkis yang telah menjadi ikon prestasi nasional, loyalitas terhadap federasi nasional seringkali menjadi standar baku. Namun dalam beberapa tahun terakhir, muncul dinamika baru yang tak bisa diabaikan. Beberapa atlet memilih jalur profesional di luar Pelatnas PBSI. Fenomena ini memantik pertanyaan besar, apakah sistem pembinaan di PBSI masih mampu menjawab kebutuhan para atlet elite?
Langkah berani Jonatan Christie dan Chicco Aura Dwi Wardoyo untuk keluar dari pelatnas dan menempuh jalur profesional bukan hanya soal kemandirian. Ini adalah bentuk pernyataan keras bahwa sistem internal federasi belum sepenuhnya adaptif terhadap tuntutan modernisasi dan kebutuhan individu atlet. Mereka tidak serta-merta meninggalkan zona nyaman tanpa alasan. Mereka butuh kebebasan, kendali atas karier, dan kestabilan dalam hal pembinaan dan finansial.
Namun, menjadi atlet profesional di luar naungan pelatnas bukan tanpa risiko. Di balik gemerlap kesempatan mandiri, terdapat realitas getir tentang mahalnya biaya hidup sebagai atlet profesional. Tak hanya soal latihan harian, tapi juga soal pengeluaran besar untuk membeli shuttlecock, menyewa lapangan, membayar pelatih pribadi, serta menanggung biaya perjalanan dan akomodasi ke turnamen-turnamen internasional. Sabar Karyaman Gutama dan Muhammad Reza Pahlevi Isfahani menjadi contoh nyata perjuangan diri dalam status non-pelatnas.
Di tengah situasi itulah, PB Djarum kembali menunjukkan komitmen jangka panjangnya terhadap ekosistem bulu tangkis Indonesia. Pernyataan terbuka dari Yoppy Rosimin, Program Director Bakti Olahraga Djarum Foundation, menjadi angin segar. PB Djarum tidak memaksa para atlet untuk tetap berada dalam sistem, tetapi justru mendukung mereka yang memilih jalur profesional dengan cara memberi sponsor dan fasilitas penunjang karier.
Langkah PB Djarum bukan baru pertama, sebagaimana ditunjukkan Wareong Steak & Shake yang menjadi sponsor bagi pasangan Sabar/Reza. Gloria Emanuelle Widjaja menjadi contoh lain bagaimana sponsor non-pelatnas mampu menjaga nyala semangat atlet untuk tetap bersaing di level dunia. Gloria berpasangan dengan Rehan Naufak Kusharjanto yang dicoret dari Pelatnas, sehingga keduanya memilih jalur independen non-pelatnas. Ini sekaligus menjadi preseden penting, ketika federasi gagal memelihara dan membina, maka pihak swasta dapat menjadi katalisator kemandirian atlet.
Di sinilah sebetulnya urgensi redefinisi peran PBSI. Di tengah arus profesionalisasi yang tak terbendung, PBSI semestinya tidak menjadi satu-satunya gerbang prestasi. Justru, federasi harus menjadi fasilitator yang mendukung berbagai jalur pembinaan, termasuk jalur profesional. Bila tidak, eksodus atlet dari pelatnas hanya tinggal menunggu waktu.
Dalam konteks ini, para pihak swasta dapat menjelma menjadi rumah alternatif yang lebih adaptif. Tidak hanya membina atlet dari usia dini, tetapi juga menjadi mitra setia bagi atlet yang ingin berkarier dengan lebih otonom. Ini tentu bukan pekerjaan ringan. Dibutuhkan konsistensi, investasi, dan keberanian untuk berdiri di luar arus utama federasi.
Sponsor bukan lagi soal tempelan logo semata. Ia adalah bentuk nyata dari komitmen terhadap masa depan atlet. Dukungan finansial yang diberikan Waroeng Steak & Shake maupun PB Djarum kepada atlet non-pelatnas bukan semata amal. Itu adalah investasi jangka panjang pada prestasi bangsa yang tidak boleh bergantung hanya pada satu institusi.
Kasus pasangan ganda putra Sabar Karyaman dan Reza Pahlevi yang mengeluhkan terbatasnya dana operasional menjadi bukti bahwa keberadaan sponsor vital. Atlet sekelas mereka pun kesulitan membiayai akomodasi dan tiket turnamen. Bila tidak ada dukungan dari pihak luar, maka cita-cita berprestasi di panggung dunia hanya menjadi impian kosong.
Hal yang perlu dicatat, kehadiran pihak swasta bukan untuk bersaing dengan PBSI, melainkan untuk melengkapi kekosongan yang ada. Kita harus jujur bahwa sistem pelatnas belum mampu mengakomodasi semua talenta. Maka, perlu ruang-ruang baru bagi atlet untuk berkembang secara mandiri. Inilah momen krusial untuk menata ulang sistem olahraga nasional. Atlet profesional tidak boleh dipandang sebagai pembangkang. Mereka adalah inovator karier yang memilih jalan berbeda untuk mencapai puncak. Dan mereka butuh tangan yang mendukung, bukan yang menghakimi.
Profesionalisme bukan pengkhianatan, tapi bentuk tertinggi dari keberanian memilih jalan sendiri. Atlet mandiri tak butuh belas kasihan, mereka butuh kesempatan, sponsor, dan keyakinan bahwa prestasi bisa lahir dari luar pelatnas.
Waroeng Steak & Shake serta PB Djarum telah membuka jalan. Kini, tinggal bagaimana pemangku kepentingan olahraga nasional memandang kenyataan ini. Apakah akan tetap memaksakan model tunggal melalui pelatnas, atau membuka ruang kolaborasi yang sehat antara federasi dan pihak swasta?
Kemandirian atlet adalah keniscayaan di era olahraga modern. Jika federasi lambat beradaptasi, maka keberadaan sponsor seperti PB Djarum adalah penyelamat prestasi bangsa. Jangan sampai ego kelembagaan membuat kita kehilangan talenta terbaik hanya karena mereka memilih jalur profesional.
Sudah saatnya kita berhenti memonopoli konsep pembinaan. Prestasi tak hanya lahir dari sistem federatif, tapi juga dari kebebasan atlet memilih jalannya sendiri. Dan untuk itu, dukungan seperti yang dilakukan PB Djarum harus diapresiasi dan diperluas. Karena pada akhirnya, yang terpenting bukan siapa yang membina, tetapi bagaimana Indonesia tetap berjaya di mata dunia.
Muh Khamdan
Researcher / Analis Kebijakan Publik