Tahun 2025 menjadi salah satu fase terkelam dalam sejarah bulu tangkis Indonesia. Tak satu pun gelar bergengsi berhasil dibawa pulang ke tanah air, termasuk kegagalan total di Indonesia Open 2025. PBSI kini berada di ujung tanduk kritik, tidak hanya dari pecinta olahraga, tetapi juga dari para legenda dan pelatih senior bulu tangkis tanah air yang selama ini menjadi tulang punggung kejayaan masa lalu.
Kritik tajam terhadap PBSI bukan sekadar akibat hasil minor, namun lebih dalam lagi berupa matinya penghargaan terhadap sumber daya manusia unggul di bidang kepelatihan. Ironis, ketika Indonesia paceklik gelar, negara-negara lain justru mencuri panggung dengan pelatih-pelatih hebat asal Indonesia yang justru “terbuang” dari Pelatnas Cipayung.
Contoh paling nyata adalah Herry Iman Pierngadi, arsitek ganda putra Indonesia selama dua dekade terakhir. Ia tidak lagi mendapat tempat di PBSI, namun langsung diambil oleh Malaysia. Hanya dalam hitungan tiga bulan, prestasi sektor ganda putra Malaysia meroket. Herry IP bukan hanya pelatih teknis, tapi ikon pembentukan mental juara yang tak tergantikan.
Kemudian ada Rony Agustinus, mantan pebulutangkis nasional yang kini menjadi pelatih utama tunggal putri Korea Selatan. Di tangannya, An Se Young menjelma menjadi ratu bulu tangkis dunia. Ironisnya, di saat An Se Young naik tahta, tunggal putri Indonesia justru terpuruk ke titik nadir.
Tak kalah menarik, Irwansyah, pelatih yang pernah berada dalam sistem PBSI, kini menjadi motor utama kebangkitan sektor tunggal putra India. Negara yang dulunya hanya dikenal sebagai pelengkap di dunia bulu tangkis kini menjadi kekuatan menakutkan, berkat tangan dingin pelatih asal Indonesia.
Kisah berulang muncul di sektor ganda campuran. Nova Widianto, Richard Mainaky, dan Flandy Limpele, semua pelatih jebolan PBSI, menjadi kekuatan kunci di balik kebangkitan sektor tersebut di Malaysia. Sedangkan di tanah air, sektor ganda campuran justru mengalami fase terburuk dalam sejarah keikutsertaan turnamen kelas dunia.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa krisis PBSI bukan soal teknis semata, tapi kegagalan sistem dalam menjaga dan mengelola ekosistem kepelatihan. Para pelatih yang sudah terbukti sukses malah tergusur oleh dinamika politik internal yang tidak berpihak pada meritokrasi.
Ketika negeri sendiri menutup pintu untuk mereka yang berprestasi, negeri lain membuka lebar gerbang kejayaan. Pelatih hebat Indonesia bukan kehilangan kemampuan, mereka hanya kehilangan ruang untuk dihargai.
Nama-nama seperti Paulus Firman di Singapura, Indra Bagus Ade Chandra di Belgia, Sarwendah Kusumawardhani dan Ardy B. Wiranata di klub-klub internasional, bahkan Halim Haryanto dan Tony Gunawan di Amerika dan Kanada, memperkuat argumen bahwa sumber daya pelatih Indonesia adalah aset dunia, bukan hanya nasional.
Mereka bukan hanya mengajarkan teknik, tapi juga membawa nilai-nilai sportivitas, kedisiplinan, dan filosofi latihan yang sangat khas Indonesia. Nilai-nilai ini kini menjadi dasar pembentukan sistem bulu tangkis di negara-negara yang dulunya belajar dari Indonesia, dan kini melampaui Indonesia.
Masalah utama PBSI terletak pada manajemen talenta dan regenerasi kepelatihan. Tidak ada roadmap yang jelas dalam menjaga kesinambungan pelatih-pelatih unggul. Ketika muncul konflik atau perbedaan pandangan, jalan keluarnya adalah ‘disingkirkan’, bukan ‘dikelola’.
Kondisi ini menggambarkan kegagalan sistemik dalam mengelola ekosistem kepelatihan. Sebuah federasi olahraga nasional semestinya menjadi talent keeper, bukan talent spender. Kualitas pelatih Indonesia sudah diakui dunia, tapi malah tidak diberi tempat di rumah sendiri. Ironisnya, muncul upaya agar pelatnas PBSI mendatangkan pelatih dari luar negeri, semacam China dan negara lainnya.
PBSI seharusnya belajar dari negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, atau India yang dengan bijak mengintegrasikan pelatih-pelatih asing dalam sistem jangka panjang mereka. Mereka bukan hanya memakai pelatih asal Indonesia, tapi membentuk struktur yang memungkinkan keberlanjutan strategi kepelatihan nasional.
Prestasi bukan hanya soal atlet di lapangan, tapi tentang siapa yang membentuknya di balik layar. Jika PBSI terus mengabaikan pelatihnya, maka juara akan lahir dari bendera lain.
Solusi jangka panjang bukan sekadar ganti pengurus atau tambal sulam program, tapi membangun kembali filosofi manajemen sumber daya manusia yang inklusif, kolaboratif, dan berbasis prestasi. Harus ada National Coaching Development Roadmap yang menjamin keberlanjutan karier pelatih.
Sudah saatnya PBSI dan Kemenpora merumuskan regulasi dan insentif untuk mempertahankan pelatih-pelatih berkaliber dunia asal Indonesia. Bila tidak, kita hanya akan menjadi “pabrik pelatih ekspor” yang menuai prestasi di luar negeri, namun terus gagal di dalam negeri.
Kehebatan pelatih Indonesia di panggung dunia adalah refleksi dari potensi besar bangsa ini. Namun potensi itu akan menjadi ironi jika tidak ada komitmen sistemik untuk membangunnya dari dalam. Jangan sampai kita hanya bisa bangga melihat bendera negara lain berkibar berkat tangan dingin pelatih-pelatih kita.
Muh Khamdan
Researcher / Analis Kebijakan Publik