Tidak pernah ada catatan sejarah yang pasti siapa penemu olahraga bulu tangkis, kapan, dan di mana asal muasalnya.
Diperkirakan, bulu tangkis pertama kali dimainkan sekitar 1837 di pedesaan Dukes of Beaufort di Gloucestershire, Inggris. Akar olahraga ini dapat ditelusuri di dalam sejarah Yunani Kuno, Cina, dan India.
Bukti sejarah lainnya menyebut olahraga ini menjadi ajang kompetitif saat petugas tentara Britania di Pune, India, pada tahun 1860-an, menambahkan jaring yang membagi dua sisi dan mempertandingkan permainan baru tersebut.
Namun, Isaac Spratt, seorang pengusaha mainan asal London, dianggap sebagai sosok yang mempopulerkan olahraga ini. Pada tahun 1860, Isaac Spratt, membuat pamflet dengan tulisan “Badminton Battledore: A New Game”.
Sejarah pun berlanjut ke tanggal 5 Juli 1934 saat International Badminton Federation (IBF) didirikan di London oleh sekelompok negara yaitu Kanada, Denmark, Inggris, Prancis, Belanda, Irlandia, Selandia Baru, Skotlandia, dan Wales.
Kemudian India bergabung sebagai afiliasi pada 1936. Tujuan pembentukan IBF adalah perlunya aturan dan regulasi yang konsisten untuk mengatur bulu tangkis.
Awalnya, sebagian besar benua memiliki badan pengatur bulu tangkis yang mengembangkan aturan dan regulasi mereka sendiri. Pada saat itu, bulu tangkis dianggap sebagai kegiatan rekreasi untuk orang kaya alih-alih sebagai olahraga kompetitif. Namun, ketika permainan menjadi lebih populer, federasi nasional mulai muncul.
Selain IBF, ada juga World Badminton Federation (WBF) yang didirikan Februari 1978. WBF lahir akibat ketidakpuasan beberapa negara bulu tangkis terhadap IBF.
Pembentukan WBF ini diinisiasi oleh China dan diikuti oleh beberapa negara lainnya. China menolak kebijakan IBF yang memasukkan Taiwan sebagai negara anggota. Sejumlah negara juga menolak keanggotaan Afrika Selatan karena politik apartheid negara itu.
Namun akhirnya, pada 1981, IBF bergabung dengan WBF. Pada Rapat Umum Luar Biasa di Madrid 24 September 2006, nama organisasi diganti menjadi BWF.
BWF lantas diakui oleh Komite Olimpiade Internasional (IOC) dan Komite Paralimpik Internasional (IPC) sebagai badan pengatur dunia untuk bulu tangkis. BWF kini memiliki 198 negara anggota.
Bulu tangkis pertama kali dipertandingkan sebagai olahraga demonstrasi di Olimpiade Munich 1972 dan secara resmi menjadi bagian dari program Olimpiade pada tahun 1992 di Barcelona.
Tanggal 5 Juli lantas ditetapkan oleh BWF sebagai Hari Bulu Tangkis Sedunia. Ini mulai berlaku pada 2022.
“Hari Bulu Tangkis Sedunia memberikan kesempatan unik bagi kita untuk secara bersamaan merayakan dan mempromosikan olahraga yang kita cintai,” kata Presiden BWF kala itu Poul-Erik Hoyer Larsen.
Di banyak negara, perayaan ini menjadi momentum untuk mengingat warisan kejayaan, semangat sportivitas, dan pencapaian-pencapaian membanggakan.
Sementara itu, atlet-atlet dunia seperti Viktor Axelsen dan An Se-Young memposting ungkapan rasa syukur karena berhasil berprestasi pada level dunia di akun media sosial.
Lalu bagaimana untuk Indonesia?
Bulu tangkis juga telah melewati sejarah panjang di negeri ini sejak dibawa oleh bangsa Inggris kala zaman penjajahan. Lalu pada 1946, seniman Sunda Koko Koswara menulis lagu ‘Badminton” yang liriknya menceritakan bahwa kepopuleran olahraga ini terjadi di kampung dan di kota alias ada di mana-mana. Badminton telah membudaya di urat nadi rakyat Indonesia.
Bukan hanya itu, dari segi prestasi, Indoensia selama puluhan tahun mampu menjadi poros kekuatan bulu tangkis dunia. Maka dari itu, perayaan tahun ini seharusnya menjadi momen penggugah kesadaran kolektif akan sesuatu yang mulai retak pada prestasi, motivasi, dan arah pembinaan olahraga ini.
Publik pencinta badminton prihatin karena prestasi kita saat ini sedang anjlok. Hingga pertengahan 2025, belum ada satu pun gelar dari turnamen BWF World Tour Super 500 ke atas yang mampu diraih wakil Merah Putih. Ini harus menjadi perhatian serius.
Sinyal krisis yang tidak lagi bisa dianggap sebagai ‘fase wajar’. Apa lagi misi kepengurusan PBSI 2024-2028 sudah menggaungkan tekad untuk menjadikan bulu tangkis sebagai ‘olahraga yang membawa kebanggaan dan kegembiraan bangsa’.
Namun nyatanya, ekspresi kekecewaan, kemarahan, dan ketidakpercayaan terhadap para pengurus tumbuh subur memenuhi sosial media. Ketika prestasi tidak hadir, kata-kata kehilangan maknanya. Walau memang masih ada sedikit yang berkomentar bernada positif, memberikan dukungan.
Persoalan motivasi, regenerasi yang butuh waktu, penanganan cedera yang lambat, hingga pemberian kesempatan bagi atlet muda pun menjadi persoalan.
“Jangan merasa cukup jadi juara di Indonesia. Itu bukan apa-apa. Kalau bicara juara harus dunia,” kata tunggal putra legendaris Liem Swie King.
King masih optimistis bahwa atlet-atlet muda saat ini lebih baik dibandingkan generasinya.
Legenda yang lain, Imelda Wigoena berkomentar pedas. Dia mensinyalir bahwa para atlet hanya mengamankan ranking supaya hubungan dengan sponsor terjaga dibanding mengejar prestasi.
Wakil Ketua Umum PP PBSI yang merangkap sebagai Wakil Menteri Olahraga Indonesia Taufik Hidayat berkali-kali berbicara akan melakukan evaluasi terhadap prestasi badminton Indonesia. Namun hingga kini janji hanya sekadar janji. Perubahan belum terlihat nyata.
Taufik harus mengingat bahwa prestasi tidak datang dari tradisi semata. Medali tidak diwariskan. Ia diperebutkan. Jika prestasi tidak juga datang, maka bukan hanya atlet yang patut disalahkan. Klub, pelatnas, federasi, bahkan sistem olahraga nasional harus mau bercermin.
Pembinaan yang menjangkau hingga ke akar, pelatih yang berani melatih dengan hati dan visi, atlet yang lapar akan kemenangan, hanya bisa dibentuk oleh manajemen yang baik, paham masalah, dan profesional.
Badminton Lovers juga agaknya juga bisa kembali ke khitah permainan ini sendiri. Mari kita bersama-sama menggunakan olahraga ini untuk bergembira dan bermain bersama.
Akhir kata, Selamat Hari Bulu Tangkis Sedunia!