Tan Joe Hok berpulang pada 2 Juni 2025 dalam usia 87 tahun. Legenda bulu tangkis yang banyak memberi teladan.
Kepergian Tan Joe Hok meninggalkan duka bagi insan bulu tangkis Indonesia. Bagi saya, kehilangan karena kepergiannya terasa lebih dalam. Om Tan –begitu saya biasa menyapanya– bukan hanya sekadar panutan di lapangan, juga sosok ayah, guru kehidupan, sahabat diskusi, sekaligus penunjuk arah dalam banyak keputusan penting dalam hidup saya. Ia adalah teladan lengkap yang susah untuk dicari gantinya.
Tan Joe Hok adalah nama lain dari Hendra Kartanegara, yang lahir di Bandung, 11 Agustus 1937. Ia menghembuskan napas terakhir pada Senin, 2 Juni 2025, di RS Medistra Jakarta, dalam usia 87 tahun.
Ia adalah pahlawan yang telah membawa Indonesia ke peta dunia. Di tengah segala keterbatasan di masa awal kemerdekaan, Om Tan membuktikan bahwa dengan kerja keras dan tekad, Indonesia bisa menaklukkan dunia.
Tahun 1958, dalam usia yang masih sangat muda, ia menjadi bagian dari tim yang merebut Piala Thomas di Singapura. Itu adalah Piala Thomas pertama bagi Indonesia, yang diraih dengan mengalahkan sang juara bertahan Malaysia. Di masa itu, prestasi ini tersebut sangat berarti, bukan hanya menjadi kemenangan olahraga, tapi menjadi simbol kedaulatan, semangat juang, dan kebangkitan jati diri bangsa Indonesia.
Setahun setelah kemenangan Thomas Cup, pada 1959, Om Tan menjadi orang Indonesia pertama yang menjuarai All England. Ia mengalahkan Ferry Sonneville dalam partai final sesama pemain Indonesia yang berlangsung tiga set. All England saat itu adalah kejuaraan bulu tangkis paling prestisius di dunia. Tapi yang membuat saya kagum bukan hanya gelarnya, melainkan bagaimana Om Tan meraihnya: dengan disiplin, ketekunan, dan kejujuran yang tak tergoyahkan. Etos itu terus dia pegang teguh sepanjang kariernya.
Saya masih ingat, Om Tan pernah bercerita salah satu momen penting dalam hidupnya dengan nada bangga namun rendah hati. Dia meninggalkan kuliah di Baylor University, Texas, Amerika Serikat, tempat dia belajar kimia dan biologi, demi memenuhi panggilan Presiden Soekarno. Ia diminta tampil dalam Asian Games IV tahun 1962. Ia pulang ke tanah air dengan biaya sendiri.
Hasilnya? Dua medali emas dia persembahkan. Satu dari nomor beregu putra, dan satu dari tunggal putra. Ia juga meraih medali perak di nomor ganda putra. Om Tan menjadi atlet bulu tangkis Indonesia pertama yang meraih emas Asian Games.
Bung Karno kala itu memberinya hadiah. Namun, Om Tan menolaknya. Bonus itu dikembalikannya ke negara. Saya merinding mendengar kisahnya itu. Teladannya sungguh susah untuk diikuti. Ia sudah menampilkan sosok seorang atlet yang bukan hanya berprestasi, tapi juga tulus mengabdi pada Merah Putih. Nilai-nilai inilah yang selalu beliau tanamkan kepada kami para pemain bulu tangkis generasi setelahnya: berjuang bukan untuk pribadi, tapi untuk bangsa.
Saya selalu merasa bahwa prestasi saya dan pemain Indonesia lain di All England dan Kejuaraan Dunia hanyalah kelanjutan dari jalan yang sudah dia buka. Semua keberhasilan Indonesia di kancah dunia, termasuk 8 medali emas Olimpiade yang diraih Indonesia hingga saat ini, tak akan terjadi tanpa perjuangan Om Tan dan kawan-kawan di tahun 1950-an.
*
Dengan segudang prestasi bagi bangsa, Om Tan sempat mengalami diskriminasi di awal masa Orde Baru. Ia sempat gerah dengan KTP yang ditandai dan berbagai perbedaan bagi minoritas. Namun, kecintaannya pada Indonesia tak lantas luntur. Sebagai seorang juara, ia akan mudah menjadi warga negara lain. Tapi, ia tak melakukannya. “Saya hidup di Indonesia dan saya akan berpulang di Indonesia,” kata dia. Janji itu dia pegang hingga akhir hayatnya.
Pengalaman ikut membentuknya menjadi pribadi yang sangat mengutamakan kesetaraan dan kerukunan. Saya merasakan itu di tengah suasana bergejolak pada 1998, saat kami bertanding di Piala Thomas yang berlangsung di Hong Kong.
Kala itu Indonesia sedang dalam masa sulit, sedang mengalami krisis, karena kerusuhan dan demonstrasi yang terjadi dimana-mana. Tapi justru di titik itu, di tim Piala Thomas, kami bersatu. Saya ingat Om Tan berkata, “Perbedaan itu kekayaan. Rukunlah. Jangan biarkan diskriminasi masuk ke dunia bulu tangkis.” Di tengah berbagai keterbatasan itu, Indonesia berhasil menjadi juara dengan mengalahkan Malaysia 3-1 di babak final.
Om Tan melewati perjalanan utuh sebagai insan bulu tangkis. Ia menjadi atlet yang berprestasi. Setelah pensiun, ia juga menjadi pelatih Indonesia yang membantu merebut kembali Thomas cup tahun 1984. Kepeduliannya yang tinggi juga terlihat jelas saat memimpin Ketua Komunitas Bulutangkis Indonesia (KBI).
Sebagai Ketua KBI, Om Tan tak pernah lelah menyatukan para mantan atlet, mempererat tali persaudaraan, dan membantu mereka yang kesulitan. KBI bukan hanya komunitas, tapi bentuk nyata dari filosofi hidup Om Tan: berbagi, peduli, dan tidak meninggalkan siapa pun. Sejak 2018, saya ditunjuk untuk meneruskan kiprah dia memimpin KBI. Saya tahu telah mendapatkan wasiat moral dan amanah yang harus dijaga dengan sepenuh hati.
*
Om Tan adalah sosok yang kuat. Ia teguh memegang komitmen dalam hidup, termasuk soal cinta. Ia setia pada cintanya untuk seorang wanita: Goei Kiok Nio. Meski kekasih hatinya itu sudah pergi 27 tahun lalu, ia terus memegang teguh komitmen pernikahannya. Satu untuk selamanya.
Di akhir hayatnya, meski sudah lanjut, Om Tan tetap menjaga kesehatannya dengan ketat. Setiap hari ia masih sering menelpon saya untuk sekedar berbincang soal bulu tangkis, atau hal-hal kecil yang sedang terjadi di luaran. Beliau pernah berkata kepada saya, “Saya menjalani hidup apa adanya dan tak lupa banyak bersyukur.” Seperti itulah Om Tan. Ia tidak neko-neko, tidak ambisius, tapi selalu besar dalam tindakan.
Indonesia beruntung pernah memiliki sosok seperti Tan Joe Hok. Lebih dari sekedar legenda olahraga, ia menjadi mercusuar moral di masa yang terus berubah. Di saat banyak orang mengejar gelar dan penghargaan, Om Tan menunjukkan bahwa kehormatan sejati lahir dari kesetiaan, ketekunan, dan integritas. Ia tidak hanya membentuk generasi pemenang, juga menanamkan nilai-nilai hidup yang lebih dalam.
Om Tan telah berpulang. Semoga jiwa, nilai, dan semangatnya tidak pernah mati. Semoga hal itu tetap hidup dalam setiap daya juang atlet Indonesia, dalam setiap pukulan shuttlecock yang membelah udara, dalam setiap bendera Merah Putih yang berkibar di podium tertinggi dunia. Ia sudah menunjukkan makna menjadi juara sejati, bukan hanya di lapangan tetapi juga dalam hidup.
Hariyanto Arbi
Mantan atlet bulu tangkis, Ketua Komunitas Bulutangkis Indonesia (KBI)
ARTIKEL INI SUDAH TERBIT DI MAJALAH TEMPO