Loh Kean Yew, pebulu tangkis tunggal putra Singapura, beberapa waktu lalu menempati podium teratas Taipei Open 2025. Namun untuk menciptakan atlet kelahiran 26 Juni 1997 itu, harus melalui pembinaan yang kuat sejak usia dini.
Saya turut andil dalam membentuk Loh Kean Yew di masa dia masih anak-anak saat masih di Singapore Sports School. Namun, selama ini dalam pengamatan saya, ada tendensi kesalahan dalam pelatihan atlet badminton di berbagai tempat.
Pelaksanaan pelatihan yang kurang tepat ini pertama-tama terlihat dari adanya duplikasi program latihan orang dewasa terhadap anak-anak. Ini disebabkan adanya anggapan bahwa anak adalah miniatur orang dewasa sehingga anak diupayakan untuk menguasai keterampilan ke cabangan olahraga yang sama seperti halnya orang dewasa. Akibatnya, program pelatihan yang cocoknya diberikan kepada orang dewasa malah diduplikasi untuk anak.
Selain adanya masalah dalam pelaksanaan pelatihan, pemikiran pemikiran yang sempit dalam memandang perkembangan olahraga juga menghambat terwujudnya pelatihan atlet menjadi lebih maju. Banyak yang berpikiran sempit dan mencari cara mudah untuk mencapai prestasi dalam olahraga.
Perkembangan baru seperti sport science dan sport technology sulit diterima oleh mereka yang berpikiran seperti itu. Padahal ini tidak tepat. Atlet itu bisa diciptakan dengan ilmu pengetahuan, bukan hanya melalui bakat.
Anak-anak, terutama yang ada di usia dini, tidak seharusnya belajar mengenai taktik, dan strategi olahraga seperti yang ditekankan dalam kompetisi. Anak dalam perkembangan usia dini belum membutuhkan hal tersebut.
Salah satu bukti adanya miskonsepsi ini terlihat dari peristiwa peremasan kok oleh atlet berumur 15 tahun di dalam ajang Sirnas B Kepulauan Riau-Batam, beberapa waktu lalu.
Miskonsepsi ini bahkan membawa pengaruh negatif yang lebih besar lagi. Karena fokus kompetisi anak dianggap untuk segera mencapai prestasi yang diinginkan.
Mungkin bukan hanya dilatih untuk tidak sportif, para atlet di tingkat junior digenjot dengan latihan yang lebih bersifat organik-motorik yang justru malah membuat prestasi menjadi terhenti.
Misalnya, anak memperoleh latihan beban dengan alat yang sesungguhnya tidak sesuai dengan tubuh mereka. Aspek psikomotorik digenjot, tapi kognitif dan afektif terbengkalai.
Para pelatih, pendidik, dan seluruh stakeholder pembinaan atlet muda, atau anak-anak harus paham bahwa olahraga anak-anak adalah wahana sempurna dalam menanamkan keterampilan demokrasi, mengembangkan penyesuaian sosial, dan mengembangkan karakter.
Pembinaan juga harus bertujuan memperbaiki cara berpikir yang cepat dan sigap. Oleh karena itu, olahraga anak-anak selain meliputi aktivitas juga harus mengikuti tahap perkembangan psikomotorik, kognitif, dan afektif anak sesuai usia mereka.