Kegagalan Indonesia meraih satu pun gelar juara dalam ajang Badminton Asia Championship (BAC) 2025 di Ningbo, China, menjadi catatan kelam yang seharusnya tidak bisa dimaafkan hanya dengan dalih “belum rezeki”. Padahal, BAC yang setara turnamen BWF level 1.000, merupakan barometer kekuatan Asia yang selama ini menjadi basis kekuatan utama bulu tangkis dunia. Fakta bahwa tak ada satu pun wakil Indonesia yang menembus final menandakan adanya krisis sistemik, bukan sekadar nasib buruk di lapangan.
Di antara sedikit titik terang, pasangan Leo Rolly Carnando/Bagas Maulana sempat menyalakan harapan ketika menembus semifinal. Namun, langkah mereka terhenti oleh pasangan tuan rumah Chen/Liu dalam pertarungan tiga gim yang menguras tenaga dan emosi. Kekalahan ini menutup perjuangan Indonesia dengan catatan kosong. Tanpa gelar, tanpa finalis, tanpa solusi konkret dari federasi.
Kejutan dari tiga ganda putra yang berhasil mencapai perempat final, yaitu Leo/Bagas, Fikri/Daniel, dan Fajar/Rian, justru menjadi ironi. Alih-alih menguatkan argumentasi bahwa regenerasi berjalan baik, justru ini memperlihatkan pola stagnansi. Pasangan-pasangan ini sudah lama diproyeksikan sebagai penerus, namun belum juga berhasil mengkonversi peluang menjadi konsistensi prestasi. Satu kemenangan atas juara All England 2025, Kim/Seo, oleh Fikri/Daniel, menjadi sekadar prestasi tempelan yang tidak mengubah keseluruhan narasi.
Di sektor tunggal putra, Jonatan Christie gagal mempertahankan gelar usai dikandaskan Lu Guang Zu. Penampilan Jojo tidak buruk, tapi tidak cukup baik untuk mengimbangi perkembangan pesat para pemain muda China. Lebih menyedihkan lagi, tidak ada penerus yang siap mendobrak batas itu. Di tunggal putri dan sektor campuran, bahkan nama-nama Indonesia nyaris tak disebut, menandakan lemahnya sistem pembibitan jangka panjang.
Jika kita meninjau dari perspektif manajemen olahraga modern, PBSI terlihat stagnan dalam pendekatan pengelolaan talenta. Tidak ada kerangka pengembangan atlet yang berorientasi pada sains dan teknologi olahraga. Evaluasi performa masih berkutat pada hasil akhir, bukan proses progresif yang dapat dimonitor melalui sistem biometrik, tracking data, dan pemetaan beban latihan. Ini membuat atlet rawan overtraining, burnout, bahkan cedera kronis.
Setidaknya perlu pengaturan ulang untuk terjadinya integrasi antara pelatih, psikolog olahraga, ahli gizi, fisioterapis, hingga analis data menjadi satu ekosistem. Para pemain tidak sekadar latihan keras, tapi latihan cerdas. Sementara di Indonesia, program pelatnas masih mengesankan pada pola latihan lama, minim inovasi, dan terlalu menitikberatkan pada “jam terbang” ketimbang kualitas eksposur bertanding.
Kondisi ini diperparah oleh belum jelasnya roadmap jangka panjang yang bisa memayungi regenerasi secara berkelanjutan. Atlet-atlet muda seperti Jafar Hidayatullah/Felisha Pasaribu tampil inkonsisten karena dilempar ke turnamen besar tanpa sistem transisi bertahap yang memadai. Mereka kalah di babak semi final oleh pasangan Jepang Midorikawa/Saito, memperlihatkan betapa pentingnya kesiapan mental dan taktis wakil Indonesia dibandingkan pesaing Asia Timur. Jafar dan Felisha mampu memenangkan set pertama dengan 21-15, namun kalah pada set kedua 21-23 serta set ketiga 11-21. Ironisnya, kekalahan Jafar/Felisha justru karena kesalahan-kesalahan yang dilakukannya sendiri akibat permainan yang terburu-buru.
PBSI tentu sudah saling faham dan belajar dari federasi China dan Korea Selatan yang sejak awal 2020-an sudah mengadopsi pendekatan sport science-based athlete development. Pemanfaatan data performa, video analisis, hingga sistem penjenjangan yang jelas dari U-15 hingga senior menjadi fondasi kuat. Sementara di Indonesia, terlalu banyak intervensi non-teknis dalam proses seleksi atlet, dan minimnya transparansi dalam promosi-degradasi pemain pelatnas. Tak heran jika sejumlah pemain non-pelatnas justru dapat berkibar dalam turnamen internasional, seperti Ahsan/Hendra, Tomy Sugiarto, Rehan/Gloria, dan yang terbaru adalah Sabar/Reza di All England 2025.
Di tengah masyarakat yang masih euforia akan masa lalu, PBSI tampaknya terjebak dalam romantisme sejarah. Padahal, dunia bulu tangkis bergerak cepat, dan negara-negara seperti India, Jepang, Inggris, dan bahkan Jerman telah memodernisasi sistem mereka. Jika PBSI tidak segera membenahi diri, maka gelar demi gelar hanya akan menjadi kenangan, bukan harapan masa depan.
Kunci pembenahan ada pada perubahan organisasi PBSI. Dibutuhkan keberanian untuk mereformasi kepengurusan, merekrut direktur teknik yang berpikiran progresif, serta membuka diri terhadap audit eksternal menyeluruh. Tidak ada federasi kuat tanpa sistem yang transparan dan akuntabel.
Kemunduran prestasi Indonesia di BAC 2025 bukan kesalahan pemain semata. Ini adalah hasil dari sistem yang usang, terlalu nyaman dalam zona medali masa lalu, dan abai terhadap pentingnya inovasi. Saat negara lain bergerak dengan blueprint yang sistemik, kita masih bergelut dengan wacana dan drama seleksi atlet dan pelatih.
Para atlet Indonesia, dengan segala keterbatasannya, masih punya potensi. Namun, potensi hanya akan tinggal potensi jika tidak dikembangkan dengan benar. Jika PBSI benar-benar serius ingin bangkit, maka 2025 harus menjadi tahun evaluasi besar-besaran dan bukan tahun penuh penyesalan.
Sudah waktunya Indonesia tidak hanya bangga dengan sejarah bulu tangkis, tapi juga berani membentuk masa depan yang berbasis pada ekosistem olahraga modern. Tanpa itu, kita akan terus mengandalkan keajaiban, bukan pencapaian.